Thursday, December 2, 2010

Tidak banyak lulusan dari universitas atau institut ternama yang dapat mengkontribusikan pengetahuannya bagi kepentingan rakyat kecil, atau setidaknya bagi komunitas dimana lulusan itu berasal. Mau bersusah payah dahulu demi kemajuan rakyat kecil atau komunitasnya sendiri. Kebanyakan akan menggunakan pengetahuan dan titel bergengsinya dari universitas atau institut yang juga bergengsi demi masa depannya sendiri. Tapi tidak untuk Singgih Kartono.

Singgih Kartono adalah seorang lulusan di bidang desain produk di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Beliau lalu bekerja sebagai desainer produk untuk perusahaan dengan spesialisasi industri kerajinan tangan, sebelum mendirikan Aruna Arutalai lalu Piranti Works, sebuah perusahaan yang bersosialisasi dalam produk kerajinan kayu-fungsional untuk ukuran kecil.

Sebelumnya, sepanjang tahun-tahun terakhir beliau di ITB, beliau bermasalah dengan satu pertanyaan besar: “Kemana saya harus pergi dan apa yang harus saya lakukan setelah lulus? Apakah saya harus bekerja sebagai desainer produk di perusahaan?untuk mendesain produk kantor, di suatu tempat di kota atau haruskah saya kembali ke kampung halaman saya, Kandangan, di Jawa Tengah dan memulai bisnis?” Ternyata Singgih langsung kembali ke kampung halamannya, Kandangan. Singih kembali dan memulai sebuah bisnis tanpa kalkulasi keuangan atau persiapan yang justru adalah berkah. Jika Singgih menyiapkan detil-detilnya, Magno tidak akan lahir.

Kemajuan, benarkah?

Kekhawatiran penduduk di Kandangan tentang kemunduran kehidupan di desanya mendesak Singgih untuk menggunakan pengetahuannya, tenaga dan pengalamannya untuk memperkuat desa Kandangan dengan hasil produksi bisnisnya. Singgih Kartono bersyukur pengetahuannya di bidang produk desain terbukti sebagai “senjata pertahanan” yang memungkinkan Singgih untuk bertahan dan bertumbuh di Kandangan.

Mengacu kepada kurangnya uang dan jauhnya jarak antara institut dan desa Kandangan, Singgih hanya bisa berkunjung setahun, dua kali. Dalam periode waktu yang lama itu, antara tiap kunjungan memungkinkan Singgih untuk mengobservasi dengan jelas perubahan di desa Kandangan. Selintas, perubahan ini terlihat sebagai “kemajuan”. Tapi ketika melihat lebih dekat, Singgih menyimpulkan kalau itu hanya “permukaan’ dimana pengalaman berubah. Struktur dasar desa tidak mengalami perubahan apa-apa, selain itu beberapa sektor sebenarnya memburuk. Contohnya: di sektor pertanian, pertanian tradisional selalu menjadi tulang punggung perekonomian untuk mayoritas pedesaan. Itu adalah pukulan terburuknya. Terserah bagaimana dan apapun yang pemerintah lakukan di sektor ini, itu semua tidak pernah mengalami perkembangan lebih lanjut dan peningkatan dari pertanian tradisional. Pemerintah secara konstan datang dengan konsep “modern dan instan” dari pertanian, tetapi tidak sesuai dengan komunitas. Ini termasuk memperkuat pertanian, promosi pupuk buatan, benih impor dan rencana dana pinjaman untuk para petani. Terakhirnya, ‘usaha’ pemerintah tidak berhasil. Dan lagi, usaha-usaha ini sebenarnya mengalami kerusakan hebat untuk metode pertanian yang sudah ada.

Kerajinan Tangan sebagai Alternatif

Kehilangan pertaniannya, beberapa dipaksa untuk mencari pekerjaan di kota atau tetap tinggal di desa dengan keadaan minimum untuk bertahan atau menemukan sumber pendapatan baru di sekitar desa. Kegiatan terakhir biasanya berakhir dengan mengeksploitasi hutan dan alam.
Kerajinan tangan adalah alternatif kegiatan ekonomi yang berpotensial untuk berkembang dan bertumbuh di desa. Itu mempunyai karateristik yang sesuai untuk kondisi kehidupan pedesaan dan prospek bertumbuh. Karakter ini yang adalah pekerja intensif, memerlukan teknologi rendah dan investasi dan kelimpahan masukan bahan lokal. Dan lahirlah Magno.

Magno


Magno berasal dari kata “magnify”. Produk pertama yang diciptakan Singgih adalah kaca pembesar (magnifying glass). Interpretasi Singgih tentang Magno adalah magno bisa melihat detil layaknya kaca pembesar. Kecil, simple, dan bentuk yang indah dibuat oleh para pekerja kerajinan tangan yang berkualitas yang memberikan perhatian lebih pada detil-detil produk. Singgih memilih g sebagai logo karena bentuk hurufnya yang seperti ukiran, Singgih ingin menciptakan produk seunik huruf g. Singgih memilih kayu sebagai sebuah bahan yang seimbang. Di dalam kayu, ia menemukan kekuatan tapi juga kelemahan, keuntungan tapi juga keterbatasan, kasar tapi juga lembut. Dibandingkan bahan sintetis, Singgih dapat merasakan kayu adalah bahan dengan jiwa di dalamnya. Kayu adalah jenis bahan dengan kecantikan yang datang dari sejarahnya. Bagaimana itu bertumbuh adalah suatu proses yang menakjubkan, terekam dari garis garis umurnya. Merekam waktu yang baik dan buruk. Teksturnya yang cantik dan urat-uratnya sebenarnya adalah cerita tentang kehidupan. Kayu adalah jenis dari bahan sempurna, sempurna karena ketidaksempurnaannya. Karakternya mengajarkan kita tentang kehidupan, keseimbangan, batas.

Singgih menyebut produknya sebagai “slow design”. Karena Singgih tidak mau membuat semuanya cepat karena ia tidak mau dipengaruhi oleh pasar maupun uang.

By : Zoe

Reference : Qi-Global, Magno Design, Core 77







0 Comments:

Post a Comment



 

FREE HOT BODYPAINTING | HOT GIRL GALERRY