Monday, December 27, 2010

Pemahaman awal terhadap gejala yang berkaitan dengan tanda dapat ditelusuri dalam pikiran Plato dan Aristoteles dalam pembicaraannya mengenai bahasa. Pemahaman berikut dilakukan oleh mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena sekitar abad ke-3 SM, khususnya oleh filsuf Philodemus, dalam kaitannya dengan perbedaan antara tanda alamiah dan tanda konvensional, sekaligus penerapannya dalam rangka memahami gejala-gejala suatu penyakit. Di antara kedua tanda tersebut, jenis tanda yang memperoleh perhatian dan yang kemudian dikembangkan secara ilmiah pada abad berikutnya, khususnya abad pertengahan adalah tanda-tanda konvensional. Atas dasar perkembangan ilmu ketandaan seperti di ataslah Halliday(1992:4-5) menyebutkan semiotika sebagai kajian umum, dimana bahasa dan sastra hanyalah salah satu bidang di dalamnya.

Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya atau ilmu tentang makna atau arti adalah Semantik. Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’(kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’, kata kerjanya adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis: signe linguistique).

Semantika digunakan sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semantika atau semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri. (Piliang, 1998:262).

Istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik daripada istilah untuk ilmu makna lainnya, seperti semiotika, semiologi, semasologi, sememik, dan semik. Ini dikarenakan istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang cukup luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Sedangkan batasan cakupan dari semantik adalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.

Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.

Contoh: kata “ngelih” atau “lesu” yang sama-sama berarti “lapar” dapat mencerminkan budaya penuturnya. Karena kata “ngelih” adalah sebutan untuk “lapar” bagi masyarakat Yogyakarta. Sedangkan kata “lesu” adalah sebutan untuk “lapar” bagi masyarakat daerah Jombang.

Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referentnya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya, setiap tanda linguistik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Ada kalanya, satu tanda linguistik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya, dua tanda linguistik dapat memiliki satu acuan yang sama.

Menurut Charles Sander Peirce (1839-1914) yang adalah seorang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda.

Dalam pandangan van Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bidang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dapat dianggap sebagai tanda (Zoest,1993:18).

Menurut Ferdinand de Saussure, seperti dikutip Pradopi (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda, disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indera kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Semantika mempunyai dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semantika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce adalah filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi.

Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22).

Mengenai Semiologi yang adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda, berfungsi tanda, dan produksi makna, Saussure mengatakan bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan sebagainya).

Pertanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada sesuatu hal yang lain yang disebut referrent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59).

By : Zoe
Referensi: Zulhair.blogspot.com/2010/05/semantik.html, Myping.com, Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Perspektif Wacana naratif. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.

0 Comments:

Post a Comment



 

FREE HOT BODYPAINTING | HOT GIRL GALERRY