Friday, March 25, 2011

Selera itu subjektif. Tiap orang seleranya berbeda-beda, begitu juga dengan gaya hidup masing-masing. Konvensional, eksentrik, simple, high style, klasik, semua kata-kata itu adalah karakter-karakter yang tercakup dalam suatu gaya hidup. Sekarang, apa hubungannya desain dengan gaya hidup? Bagaimana desain, desainer, dan gaya hidup bisa saling melengkapi?

Kita harus paham bahwa gaya hidup akan menciptakan kebutuhan desain baru yang bisa menjadi trend setter. Dan bahwa penciptaan desain baru sangat dipengaruhi oleh segmen pasar yang dituju. Jadi, seorang desainer harus memahami peran penempatan desain dalam gaya hidup sasaran.

Most people judge the book by it’s cover! Jarang sekali mereka menerapkan kata-kata “don’t judge the book by it’s cover”. Mari kita bicarakan dahulu kapitalisme dan gaya hidup. People judge the book by it’s cover, “cover” disini berarti secara visual, yang bisa dilihat. Gaya visual bisa menyatu dengan gaya hidup, karena dalam hidupnya manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa dua dimensi maupun tiga dimensi. Gaya merupakan suatu sistem bentuk dengan kualitas dan ekspresi bermakna yang menampakkan kepribadian seniman atau pandangan umum suatu kelompok. Bahkan ia pun merupakan satu faktor dalam produksi artistik. Gaya juga merupakan wahana ekspresi dalam kelompok yang mencampurkan nilai-nilai tertentu dari agama, sosial dan kehidupan moral melalui bentuk-bentuk yang mencerminkan perasaan. Semua manusia adalah subjek gaya sehingga kecenderungan satu masyarakat dapat dianalisis melalui spektrum gaya.

Kata “gaya” dalam bahasa Indonesia merupakan padanan dari kata “style” dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Yunani “stilus” yang artinya adalah alat tulis atau tulisan tangan. Meyer Schapiro mendefinisikan gaya sebagai “bentuk yang konstan dan kadangkala unsur-unsur, kualitas-kualitas dan ekspresi yang konstan dari perseorangan maupun kelompok.” Definisi ini mencakup juga gaya hidup dan gaya peradaban. Tetapi definisi yang cukup jelas adalah sebagaimana dikemukakan oleh Alvin Toffler, yaitu “alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukkan identifikasi mereka dengan subkultur-subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun dari mosaik beberapa item, yaitu super-product yang menyediakan cara mengorganisir produk dan idea.”

Gaya dapat dipelajari karena ia bersifat artifisial dan sadar diri. Gaya pun mengenal masa hidup (lahir, muda, dewasa, mati) dan gaya yang telah usang biasanya disebut dekaden. Sedangkan, ketika ciri-ciri gaya dengan sengaja dilebih-lebihkan, hal itu mulai memasuki pembicaraan tentang penggayaan atau styling. Pengertian penggayaan di sini adalah memberikan bentuk tertentu sesuai dengan gaya yang pernah ada di masa sebelumnya. Pandangan ini lahir karena menurut Harley J. Earl, masyarakat sangat rapuh terhadap perubahan gaya yang ekstrem sehingga perubahan gaya dilakukan secara evolusi.

Pada saat ini sistem globalisasi telah menghilangkan batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional, sehingga arus gelombang gaya hidup global dengan mudahnya berpindah-pindah tempat dengan perantara media massa. Akan tetapi, gaya hidup yang berkembang saat ini lebih beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh satu masyarakat khusus, bahkan para konsumer pun dapat memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri. Bahkan menurut Alvin Toffler saat ini terjadi kekacauan nilai yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan sehingga yang ada hanyalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai. Gaya hidup memang menawarkan rasa identitas dan sekaligus alat untuk menghindari kebingungan karena begitu banyak pilihan.

Adanya penilaian terhadap suatu produk ditentukan oleh pola pikir dan nilai-nilai yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat, di mana hal ini dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media komunikasi. Hal ini termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan gaya hidup, dan pengertian desain dalam konteks ini lebih merupakan sikap, yaitu keberpihakan terhadap nilai yang berlaku. Untuk itu, kini para desainer secara sadar maupun tidak telah menyebarkan citra-citra sebagai refleksi dari ‘diri sendiri’ dan cermin-cermin komoditi yang sangat dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Ideologi kapitalisme mutakhir telah mendistribusikan komoditi dan menarik keuntungan dari nilai tukar-nya, yang menuntut arus produksi dan konsumsi yang konstan dan juga kecepatan perubahan yang bersaing. desain secara umum terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kubu yang memandang desain dengan sangat optimis karena dapat menjadi tambang penghasil uang yang banyak, dan kubu yang memandang bahwa desain telah membuat masyarakat menjadi “dekaden” dengan konsumerismenya yang telah mencapai titik ekstrem.

Menarik bahwa beberapa antropolog budaya bahkan menyatakan bahwa artefak atau dalam tulisan ini adalah desain dalam pengertian antropologis yang manusia ciptakan adalah media, tempat identitas budaya dilestarikan dan dikomunikasikan pada generasi berikutnya. Beberapa antropolog lainnya bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menyamakan antara kultur dan artefak yang dipakai oleh suatu masyarakat. Johan Rheinfrank, misalnya, memandang bahwa mendesain produk berarti mendesain bahasa, sehingga tiap produk mempunyai bahasa visualnya sendiri. Bahkan bentuk suatu objek mesti memperlihatkan tujuannya. Makna yang dimaksudkan di sini bukanlah bagaimana sesuatu itu dipakai ataupun bagaimana seseorang bisa memandang sesuatu itu bekerja. Akan tetapi, lebih dari itu, makna selalu menjadi sebuah interpretasi atas objek dalam konteks sosio-kulturalnya. Bahkan pada tingkatan tertentu, penampilan hasil akhir suatu produk akan mencerminkan sikap pribadi desainer akan kebudayaan.

by : Zoe, Referensi: www.kingfoto.com, blog.unm.ac.id, www.planet-blog.com/category/gaya-hidup, morat-marit.blogspot.com

0 Comments:

Post a Comment



 

FREE HOT BODYPAINTING | HOT GIRL GALERRY